"Memang benar kata orang, kekecewaan membuat seseorang dapat melakukan hal yang sebelumnya belum terpikirkan, sayang jika hal itu tidak diarahkan"


Tidak sampai satu jam, setelah berjuang dengan diri sendiri pemandangan yang membuat mata berbinar akhirnya terlihat. Sebuah tiang bendera lengkap dengan sang saka merah putih tertancap didepanku, sementara pelakat Mt tanggung 1458 Mdpl tergeletak di sebuah batu. Yang membuat aku sedikit heran, ternyata dipuncak gunung ini ada sebuah makam yang telah dibatasi oleh pagar, bukan hanya dipuncak saja, waktu ditengah track juga sempat kami temui sebuah petilasan atau lebih seperti makam, tampaknya itu adalah makam sesepuh desa yang mungkin di keramatkan, ‘Sayangnya aku tidak sempat melirik ataupun membacai nisan yang tertulis dalam makam tersebut’.

Kami sampai di puncak ketika hari sudah mulai gelap, langit benar-benar tidak dapat diprediksikan, padahal selama berangkat dari malang tadi langit benar-benar cerah. Tapi bukan itu yang menjadi masalah, area puncak kala itu mulai di selimuti kabut, pandangan disekitar hanya menyisahkan asap putih seprti tembok kokoh yang membatasi pandangan.

"Ate nak ndi sam" Azka bertanya kepada Mas’udi dari belakang, ia berjalan turun mendekati suara-suara yang sedang mendirikan tenda

"Tak ndelok mudun sek bek.e ono ngon enak" ia melangkah turun meninggalkan kami berduaa, perlahan tubuhnya hilang dibalik kabut. 

Di puncak itu suasana tampak sunyi, meski di tengah perjalanan sempat tadi kami bertemu dengan romobongan pendaki, tapi tak kudapati tanda-tanda mereka menyusul ke puncak. Kini ditempat itu menyisahkan aku dan azka tengah duduk dan saling pandang memandang.

"Pye ka mudun sisan a" ajakku meliriknya setelah mendapati Mas’udi tidak kunjung kembali.

"Ay ws runu sisan"

Di gunung ini, area puncak yang terdapat situs makamnya bukan satu-satunya tempat yang bisa kami jamah, di sebelah kiri ada sebuah turunan dan sebuah tanah luas, tampaknya itulah area yang biasa dipakai orang untuk mendirikan tenda.

"Monggo mas" Sapa kami ketika melewati romobongan yang tengah mendirikan tenda.

Puncak yang kami tadi kira sepi ternyata di sisi lainya agak ramai juga, ada setidaknya dua tenda yang saat itu telah berdiri. dari sudut pandang mataku, dibalik kabut putih, kudapati Masudi yang sedang melambai pada kami berdua, disampingnya beberapa pendaki lain terlihat sedang makan.

"Loh ws mari t videone mas" Aku tersentak kaget mendengar suara itu, langkah kakiku terdiam di samping mereka.

Dari kejauhan sebelum menghampiri Masudi tadi, aku sebenarnya telah melihat beberapa pendaki yang sedang duduk melingkar, mereka agaknya sedang makan. Aku sudah bermaksud ingin merekam mereka ‘syukur-syukur bisa buat tambahan dokumentasi after movie’ Pikirku, tentunya itu kulakukan tanpa sepengetahuan mereka, agar tidak sungkan gaknya. Tapi nahas, ketika berjalan melewatinya mereka pun menyadarinya.

"Loh ay video maneh mas, gpp" Aku terkejut dibuatnya. Aku yang awalnya merasa kikuk jadi malu sendiri karena mereka malah mempersilahkan, mereka bahkan tidak sungkan melambaikan tanganya.

Rombongan pendaki yang kami temui tersebut berjumlah 6 orang, tiga orang cewek dan tiga lainya cowok. Mereka berasal dari Surabaya, tujuan awal mereka sebenarnya adalah ke bromo, menghadiri event ‘penanaman pohon gerakkan hijaukan bromo’, seperti kami mereka naik di gunung ini hanya untuk tek tok, sekedar naik dan langsung turun kembali. ‘Katanya tidak puas jika Cuma dolen di bromo’ Sejauh itulah apa yang aku ketahui dari percakapan kami bersama rombongan mereka.

"Monggo mas kopine" Tawar mereka kepada kami sembari menyuguhkan secangkir kopi yang barusan dibuat.

Aku salfok dengan cangkir itu, nampak tak asing. terlihat ukiran siluet gunung bertuliskan Mt Arjuno.

"Sepurane mas kopine pahit iki, gak ono gulone soale" Tambah mereka lagi

"Loh gak opo mas, nyawang mbak.e tok ae ws manis kok" Celetuk azka melontarkan candaannya sembari melirik ke arah betina

"Loh mbake seng endi iki? Seng kocomotoan iku tah?" goda mereka.

“Iy seng kocomotaan iku loh, sp jenenge.e? Sabrina?”

"brin, Sabrina rne t lah lungoh cedek pinger maszeh iki, pahit iki loh kopine" lucunya mereka malah menangapi candaan kita, sontak kami pun ikut tertawa, “ha ha ha” Sepersekian detik bersamaan itu, suara dari seorang yang kami bicarakan terdengar “op sehh” gerutu gadis itu menampakkan senyum-senyum jengkel.

                                                                  ######

Jika kalian berfikir hal yang paling sulit dalam pendakian adalah menempuh jalur ke puncak, maka itu tidak sepenuhnya benar. ada hal lain yang lebih sulit dari itu. Rintik hujan yang tadi kami kira tidak akan membasahi kini perlahan mulai deras, segera kami  memasukkan barang-barang penting ke dalam tas, setelahnya langsung memakai jas hujan. Langit sudah sepenuhnya berganti malam, dari kejauhan kelap kelip lampu rumah penduduk yang biasa orang milenial sebut "city light" sebentar terlihat, sebentar juga tertutup oleh kabut. Keadaan sekitar benar-benar mulai gelap, disertai keheningan yang menyisahkan kami bertiga di puncaknya. Enam orang pendaki yang tadi bersama kami sudah turun duluan semenjak adzan maghrib berkumandang. Kini kami harus berjibaku dengan jalur turunan yang pastinya licin setelah terguyur oleh air hujan.

"Sek sek mandek sek" Suara Masudi menghentikan langkah kami.

"Aku tk ngetokno hp sek, gwe senter. Dalan ndek ngarep ws mulai gak ketok"

"Ono plastik utowo kresek gak seng iso di gwe bungkus hp iki ben gak teles"

"Ketok.e mang Ono kok" Sahut azka

"Jal deloken ae ndek tas kne Ono po gak" Sahutku sembari menyerongkan tas yang ku cangklung ke arah mereka.

Posisi kami kali ini dalam perjalanan turun, Masudi berada di depan sebagai pembuka jalan, kemudian disusul azka dibelakangnya baru aku di bagian paling belakang. Karena track yang gelap dan penerangan cuma satu di depan, hal itu membuat kami tidak boleh berjauhan. Jalanan menurun licin akibat guyuran hujan semakin mempersulit langkah kami, kami harus menerka-nerka jalanan mana yang bisa kami lewati. Sesekali kaki kami terpeleset, akibat sendal maupun sepatu yang tidak sekalipun memenuhi standar pendakian, tak jarang juga kami harus prosotan ketika menghadapi turunan yang begitu terjal. Itulah mengapa tadi kukatakan "menempuh jalur ke puncak bukanlah satu-satunya hal paling sulit, tapi justru untuk turun dengan selamat itulah hal yang lebih sulit"

Tak terhitung sudah beberapa kali kami kepeleset sampai akhirnya sebuah sorot lampu di depan, dari balik semak dan pepohonan kentara mengarah pada kami, tampaknya ada seseorang disana. Dan benar saja ketika kami telah keluar dari belokan, beberapa pendaki yang waktu itu sempat menawari kopi di puncak kelihatan tengah duduk di pondokan. Kami kira mereka sudah sampai base camp duluan.

"P, butuh bantuan mudun iki" Teriak seorang laki dari mereka kepada kami.

"Loh tk kiro sampean ws mudun di sek mas" Sahut azka

"Wah ora mas, iki ngiup mbek ngenteni udane terang"

"Loh gak ono seng gwo jas hujan t?"

"Ndak ono"

"Iki kurang penerangan sisan, mangkane ngenteni ngejak bareng" Tambah mereka.

"Lah y kne ae mek gwe senter hp, siji tok sisan" balas Masudi menjelaskan bagaimana tadi kita juga kesusahan waktu turun dari puncak.

" Y ws mas lk ngunu ay mudun bareng ae, ojo banter-banter. sakno seng wedok" Ajak mereka kepada kami.

Meski hujan sudah mulai sedikit terang dan jalan juga agak lebar, tetap sendal yang kami pakai menapaki jalanan basah membuat kami harus tetap berhati-hati, apalagi jarak antar kami berdempetan, satu saja orang terpeleset maka bisa kena orang didepanya. Bukan hanya itu, kita juga harus siap-siap menanggung malu. Beberapa kali aku memeganggi lututku, menahan kaki walau berat agar tidak sampai terjatuh, agaknya di titik inilah aku benar-benar merasakan lututku semakin berat, hingga tiba-tiba

  “bruuggg” semua mata menoleh ke sumber suara itu