DIPATAHKAN OLEH SEBUAH EKSPEKTASI (SEBUAH PERJALANAN MENGUNJUNGI KOTA BANYUWANGI)

 


“Ku titipkan rindu di ujung gerbang pulau Jawa agar tersampaikan salamku pada pulau Dewata"

Prolog

Aku melihat jam di pergelangan tangan. berusaha menghitung waktu berapa menit kiranya untuk sampai di terminal, mengira-ngira jika 6-7 jam estimasi perjalanan apakah sudah akan sampai di terminal surabaya, apakah masih sempat hari ini juga pulang ke rumah? ‘ah padahal sudah kupersiapkan sebelumnya, nyatanya tetap saja molor’. 

“pye gak ono seng keri a?” tanyanya kembali sebelum ia melajukan sepeda motor. 

“gak ono. Bismillah ws gas” 

Hari itu adalah hari minggu, agaknya jalanan kota banyuwangi lebih padat dari hari biasanya. Jalanan lebih didominasi oleh penguna roda dua dari pada kendaraan bermuatan. Setelah keluar dari kompleks kost-kostan, motor kami berbelok ke kiri menuju jalan kepiting. Terus melaju lurus melewati smk PGRI Banyuwangi, Bebek goreng pak slamet, hingga taman patung kuda yang banyak disingahi orang. Dari sudut pandang mataku, kulihat trafic light sudah menyala warna kuning. Semkin cepat ia menarik gasnya, menyusup diantara pengendara lainya melajukan sepedanya dengan kencang sebelum terlambat kendaraan dari arah lain mulai berjalan. 

Dari arah sebrang jalan brawijaya, mataku menemukan sebuah bis sedang ngetem. Tak jelas tulisan tujuan bis dikaca depanya. 

“pe ndelok bus iku sek a?” rifqi menoleh ke orang yang diboncengnya, seakan mengerti apa yang sedang kupikirkan. 

Sepeda motor terparkir bergitu saja dipingir jalan, kami segera menyebrang ke simpang jalan sebelum terlambat bus itu keburu pergi. Kulihat ia sedang berbicara dengan seorang supir, aku sendiri mengikutinya di belakang. 

“tujuan mau ke mana dek?” tanya supir itu pada kami. 

“ke terminal bungurasih pak, surabaya” 

“ikut bus ini aja dek, nanti tak turunin di terminal rogo jambi. dari sana nanti naik bus jurusan jember, baru ke surabaya” 

“kalau dari sini naik bus langsung jurusan surabaya apa gak bisa pak?” 

“wah gak ada dek, terminal juga paling sepi. Mending ikut bus ini aja” 

Aku memandangi temanku, berusama meminta pendapat. 

“njajal ngolek ndek terminal ae” jawabnya. 

Diterminal karang ente(brawijaya) suasana tampak lengang. Terminal itu tidak terlalu luas, ya sekedar tempat pemberhentian bus maupun angkotan lebih tepatnya. Hanya ada beberapa angkot dipojokan temrinal itu yang sudah tidak beroperasi, satu bis lain yang entah mau narik atau hanya diam disitu. Aku berusaha mencari seseorang yang kiranya bisa aku tanyai. 

“permisi pak, mohon maaf kalau bis jurusan surabaya apakah masih ada?” tanyaku pada bapak-bapak berbaju dinas perhubungan. 

“wah baru tadi berangkat. Sampean terlambat kesininya” 

“bus lain ada pak? Kira-kira jam berapa ada bus lagi?” 

“sebentar y tak telponkan dulu” 

Sembari menunggu bapak itu menelpon koleganya, aku berbincang pada bapak plontos berkaos polos disampingnya, ku pelankan suaraku agar tidak menganggu telpon. 

“kira-kira berapa pak tiket bus dari sini ke surabaya” 

“kurang lebih 190-200 k” ‘duh’ aku menepuk jidat, mengerutu dalam hati. Aku hanya ada uang 200 k, jika tiket bus saja sampai segitu otomatis aku tidak bisa pulang.  

‘Andaikan aku tidak ditelpon, tidak disuruh pulang. Andai tidak ada kabar itu, aku pasti masih di kota ini, mennikmati destinasi wisata banyuwangi yang belum sempat ku sambangi. Andai bukan karena alasan disuruh mengantar mbah ke rumah sakit aku pasti tidak akan binggung mencari transportasi untuk pulang, tidak repot memikirkan cara untuk pulang dan bergelut dengan waktu’. Kekesalan-kekesalan itu menyelimuti hatiku, kupendam sendiri meski tidak bisa aku ungkapkan. 

“oh y, ini ada lagi busnya sekitar jam 11.30”  

“makasih pak” aku hanya diam.  

Beberapa saat kami berdua masih berada di area terminal itu, berdiri dan termenung memikirkan cara terbaik untuk bisa pulang hari itu juga. Waktu kala itu masih pukul 10.00, artinya kami harus menunggu satu setengah jam lagi. Tidak worth it tentunya, apalagi dengan harga tiket sedemikian itu. 

“mas-mas” suara bapak-bapak berbaju dinas itu membuyarkan lamunan kami, menyuruh agar kami mendekat. 

“kalau mau, sampean pergi aja ke terminal ketapang. disana banyak bis, Cuma gak langsung bisa ke surabaya” 

“terminal ketapang sebelah mana pak? Apakah disebelahnya pelabuhan itu” tanya temanku lebih lanjut. “iy” 

Aku tahu dimana terminal ketapang, agaknya dua hari lalu ketika awal kedatanganku aku pernah melewatinya. Saran dari petugas dinas itu mungkin bisa menjadi solusi, mungkin juga ada harapan tiket bus disana bisa lebih murah. Namun jarak dari terminal itu paling tidak memakan waktu setengah jam, agaknya malu rasanya jika terus merepoti untuk diantarkan ke sana. 

“ay ngenteni op” ia sudah duduk di bangku motornya. Menyuruhku agar segera duduk dijok belakang. 

Kami kembali melintasi aspal jalanan kota, melajukan sepeda diantara kendaraan bermotor lainya, melewati jalan besar didepan Pengadilan Negri Banyuwangi. Sesekali kami harus memelankan sepeda, berhenti karena lampu lalu lintas merah. Disisi lain kami juga harus mencari rute lain karena di sepanjang jalan depan DPR kota jalanan sudah mulai ditutup. Penutupan ini disebabkan sedang adanya pemasangan vanue stage dan pensterilan jalan. Beritanya satu hari lagi akan diadakan pembukaan International Tour de Ijen -sebuah kejuaraan balap sepeda resmi dari persatuan balap sepeda international yang diselenggarakan tiap tahun di Banyuwangi- ‘ah lagi-lagi sayang sekali aku harus pulang lebih awal dan tidak bisa melihatnya’.  

Setelah setengah jam, kami akhirnya sampai di terminal ketapang. terminal ini tidak jauh beda dengan terminal sebelumnya, sedikit terlihat lebih luas meski setelah aku datang tidak ada tanda bus akan beroperasi. Namun dikursi tunggu terminal sudah ada beberapa orang yang sedang menunggu kedatangan bus.  

Mataku tertuju pada meja beberapa laki-laki berumuran 40 tahun yang sedang menghitung uang. Baju bapak-bapak itu rapi, nampaknya mereka adalah petugas terminal ini. 

“mohon maaf pak izin bertanya” kataku berbasa basi. 

“bus jurusan surabaya apakah ada?” 

“disini gak ada bus besar mas. Adanya bus antar kota. Kalau mau ke surabaya bisa naik bus jurusan situbondo. Nanti dari terminal situbondo baru ada bus besar yang langsung ke Surabaya” 

“kira-kira berapa lama lagi pak bis datang” 

“sampean tunggu aja, gak lama kok. Biasanya setiap setengah jam ada” 

“kalau tiket bus nya kira-kira berapa pak sampek surabaya?” 

“pokok uang 100 itu sudah lebih mas. Biasanya dari sini ke situbondo tiket bus sekitar 25K. sedangkan bus dari situbondo ke surabaya biasanya 60-70 k” informasi dari bapak petugas terminal itu sedikit menepis keraguanku. Membuat hatiku lebih lega dari sebelumnya. 

“baik pak terimakasih” 

Tak berselang lama, apa yang dituturkan bapak petugas itu benar. Sebuah bus yang tidak terlalu besar mengisi ruang tunggu tujuan bus. Bus itu agaknya sudah lama beroperasi, itu terlihat dari beberapa baody bus yang terkelupas dan berkarat. Meski begitu, bus yang sudah terbatuk-batuk itu tak lantas menjadikanya sepi penumpang. Para penumpang yang sebelumnya duduk menunggu di ruang tunggu terminal berhamburan masuk ke dalam bus. Salah satu dari penumpang itu adalah aku. Tapi sebelum kakiku melangkah ke pintu bus, aku sempatkan berpamitan kepada temanku, berterima kasih karena telah menerimaku dikota ini, berterima kasih atas segala bantuan yang diberikan. 

“salam sisan ndek udi rif, suwun seng akh” teriakku di samping pintu bis. 

Aku melihat kembali jalan banyuwangi-situbondo yang tampak lenggang. Tidak seperti jalanan kota yang padat dan penuh kendaraan, disini jalan utamanya lebih lebar dan tidak banyak kendaraan melintas, selain itu kiri kanan jalan juga lebih banyak diwarnai tanaman jati maupun pohon trembesi yang banyak ditemukan dibanyuwangi. Hal lain yang tidak kalah menarik perhatianku, karena jalan Banyuwangi-situbondo merupakan jalur pantura maka dibeberapa area kalian akan menemukan hamparan biru laut dengan siluet gugusan gunung. Daerah pesisir pantai banyuwangi menurutku unik. ombak lautnya tidak seperti pantai selatang yang cenderung besar, tapi juga tidak setenang ombak dipantai-pantai utara yang selama ini ku kenal. Soal pemandanganya jangan kalian tanyakan. 

Entah, seakan ada yang menyusup dalam saraf, memori-memori itu muncul bagai rentetan film yang diputar kembali. Aku ingat bagaimana tekadku yang besar untuk bisa pergi ke kota ini, segala kekhawatiran karena harus pergi sendiri ditambah semua hal yang tidak ku ketahui. Tiga hari lalu, tepat jam 12 malam, kakiku pertama kali menginjak kota ini. Ada teman yang sudah menjemputku distasiun kala itu, menuntunku mengejawantahkan bagaimana suasana kota banyuwangi malam harinya. Di pagi harinya, berbekal sepeda motor yang dipinjamkan, aku pergi sendiri mengunjungi daretan pantai yang sudah menjadi wish list. Pantai bangsring yang terkenal akan underwaternya, pantai tabuhan yang memiliki pemandangan eksotis, hingga berhenti di grand watu dodol -sebuah patung penari gandrung diatas watu dodol yang memiliki rumor bisa bergerak dan menari-. 

Seakan tidak puas disitu, sore harinya aku bersama temanku mengunjungi pantai krengsengan. Tidak ada sesuatu yang istimewa dipantai itu, kecuali bulan yang ketika itu sedang berada di fase purnama. Malam harinya, aku ingat bagaimana kita mendiskusikan tempat yang esok kita kunjungi, mulai dari pantai teluk ijo, baluran situbondo, hingga kawah wurung di kabupaten bondowoso. Pada akhirnya yang terpilih adalah pantai teluk ijo, jadilan seharian kami esoknya disana. Hari minggu sebelum kepulangan, aku menyempatkan untuk mengunjungi pantai Boom. Katanya sunrise disitu lebih indah dibanding saat sunsite. Sebelum pulang juga aku beruntung karena telah mencicipi nasi tempong -salah satu makanan traditional dari banyuwangi-. 

Rekaman memori ingatan itu seolah melupakanku pada segala kekesalan beberapa waktu lalu. Mengingatkanku akan langkah yang sudah dilalui sejauh ini. memang ada beberapa hal yang tidak bisa kudapatkan, ada beberapa tempat yang belum aku kunjungi, namun toh itu juga bisa ku kunjungi lain kali ‘y jika suatu saat tuhan merestui’ 

“mas” 

“mas-mas” Tiba-tiba ada seseorang yang menepuk pundakku, membuat aku langsung tersentak dari lamunan. Aku memalingkan pandanganku dari kaca jendela bus, menoleh ke arah sumber suara.

“mbayar mas, tiket bus” 

“oh  y pak maaf”

Banyuwangi 19-21 Juli 2024

Posting Komentar

0 Komentar