SPIRITUAL DAN KERAMAT MALAM SATU SURO YANG PERLU DILURUSKAN

 




Bagi kalian orang Jawa asli pasti tidak asing dengan istilah  “malam satu suro”. bahkan bagi orang jawa tulen (orang jawa yang masih mempertahankan budaya jawa) malam satu suro di anggap sebagai malam keramat atau sakral.  oleh karena kekeramatan malam suro itu beredar sebuah kepercayaan yang sampai saat ini masih dipegang masyarakat jawa. diantaranya tidak boleh mengelar pesta pernikahan, hajatan dan sebagainya. Lantas apakah kalian sudah mengetahui sejarah di balik malam satu Suro ?, mengapa malam satu suro bertepatan dengan satu muharrom yang notabene adalah kalender islam ?, kepercayaan dan larangan apa saja yang dipercaya masyarakat jawa mengenai malam satu suro ?, dan bagaimana perspektif dalam islam mengenai malam satu suro ? .

         Satu Suro adalah hari pertama dalam kalender jawa dibulan Sura atau Suro. Dalam penanggalan Jawa, dihitung berdasarkan penggabungan kalender lunar (Islam), kalender matahari (masehi) dan Hindu. Kalender jawa pertama kali diterbitkan oleh Sultan Agung Hanyokrosokusumo  1940 tahun yang lalu, mengacu pada penanggalan islam (hijriah).

Sejarah satu Suro menjadi hari pertama kalender Jawa dicanangkan oleh Sultan Agung Hanyokrokusuma. Di masa kerajaan islam, kisaran tahun 1628-1629, mataram dibawah pimpinan Sultan Agung mengalami kekalahan ketika menyerang Batavia. Setelah kejadian itu, pasukan mataram mulai terbagi menjadi beberapa keyakinan. Dari sini Sultan Agung memotori pembuatan kalender tahun Jawa-Islam (pengabungan tahun saka Hindu dengan tahun Islam). Satu Suro yang menjadi hari pertama kalender Jawa  bertepatan pada satu muharrom. Mengapa ada keterkaitan diantara keduanya, hal ini karena sebelumnya pada zaman pemerintahan kerajaan Demak, Sunan Giri II telah banyak membuat penyesuaian antara sistem kalender hijriah dengan sistem kalender jawa, dan baru setelah itu diterbitkan oleh Sultan Agung Hanyakrokusumo.

Masyarakat Jawa kental dengan tradisi dan budaya. Tradisi dan budaya Jawa hingga saat ini masih mendominasi tradisi dan budaya nasional Indonesia.  karakteristik budaya Jawa adalah religious, non-doktriner, dan toleran. Karakteristik budaya Jawa ini melahirkan sifat kecenderungan yang khas bagi masyarakat Jawa seperti: percaya pada Tuhan Yang Maha Esa sebagai Sangkan Paraning Dumadi dengan segala sifat dan kebesaran-Nya. Sementara orang jawa sendiri memiliki banyak sifat dan karakteristik yang luhur dimana salah satunya adalah memegang kepercayaan dan melestarikan tradisi budaya leluhur.

Oleh sebab itu, tidak bisa dipungkiri Kepercayaan orang Jawa terhadap malam satu Sura begitu tinggi sehingga malam suro dianggap sebagai malam yang sakral. hal ini tentunya dapat dibuktikan dengan tradisi-tradisi orang Jawa di dalam memperingati malam satu suro, meski di setiap tempat tradisi yang dilakukan berbeda. Seperti halnya di keraton Yogyakarta contohnya, perayaan satu Suro di lingkungan keraton Yogyakarta dilakukan dengan mengarak benda pusaka mengelilingi benteng keraton yang diikuti oleh warga Yogyakarta dan sekitarnya.   sering juga kita mendengar istilah “ngumbah pusoko”, ini adalah sebuah ritual mencuci benda-benda pusaka yang dikeramatkan dengan ketentuan dan cara tersendiri dimana tujuanya adalah agar dapat menjauhkan diri dari belahi(keburukan), menghindarkan diri dari orang yang membenci kita dan lain sebagainya.

Selain itu ada juga sebuah kepercayaan di malam satu Suro yang sifatnya tidak lebih sekedar  mitos, seperti halnya mengunjungi makam keramat dengan dengan anggapan lebih mudah memperoleh kekayaan.  melempar sesaji, makanan dan qurban di laut yang dianggap sebagai sebuah sedekah. mandi di pemandian tertentu agar tubuh awet muda, atau bahkankepercayaan mengenai malam satu Suro sebagai gerbang dimana dunia manusia dan ghaib bertemu.

Dari sinilah kepercayaan mengenai mitos-mitos malam suro yang di anggap menyeramkan, Padahal bukan itu sebenarnya maksud dari malam satu Suro. Jika kita mentelaah sejarah peradaban islam, dimana  satu suro bertepatan dengan satu muharrom maka sudah sepatutnya satu suro adalah bulan yang sakral karena bertepatan (berbarengan) dengan bulan muharrom itu sendiri yang merupakan awal tahun baru bagi kalender islam.

 Dalam sejarahnya bulan Muharrom adalah salah satu dari “ashurul hurum” (bulan-bulan yang mulia), selain bulan Rojab, Dzul qo’dah, dan Dzulhijjah. Bulan Muharrom mempunyai arti dan ma’na tersendiri, seperti halnya bulan Safar yang di ambil dari kata “sifrun” (nol). Begitu juga bulan Muharrom yang diambil dari kata “haromun”, memiliki ma’na bulan yang diharomkan. Mengapa disebut demikian, hal ini tak lain karena pada zaman dahulu kaum muslimin dilarang  untuk berperang di bulan Muharrom tersebut. Sehingga bulan Muharrom hanya dikhusukan untuk beribadah dan mendekatkan diri pada Allah. Ma’na positif itulah yang sebenarnya di inginkan Sultan Agung Hanyakkrokusuma agar malam satu Suro menjadi malam yang Sakral supaya bisa digunakan untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah.

Hal iniliah yang sering disalah pahami dan di salah artikan mengenai mitos-mitos kepercayaan malam satu suro, sehingga malam satu suro terkesan magis dan mistis. padahal tujua asli dari malam suro menajdi malam yang sakral adalah agar masyarakat jawa bisa lebih fokus dalam hal ibadah. Dan karena satu Suro menjadi malam yang sakral lah maka beredar sebuah pantangan dan larangan. Diantara banyaknya pantangan yang masih dipercaya orang jawa hingga saat ini adalah “larangan mengadakan pernikahan di bulan Suro”.

Dalam kebudayaan dan tradisi masyarakat Jawa ketika memasuki bulan Suro, orang tua kerap melarang pernikahan anak-anaknya. Menurut kepercayaannya, mengadakan pernikahan di bulan Suro hanya akan mendatangkan kesialan kepada kedua belah pihak keluarga. Sebagian masyarakat Jawa juga beranggapan bahwa mengadakan pernikahan di bulan Suro akan menyaingi ritual keraton yang akan membuatnya sepi dan tak keramat lagi. Bagi orang Jawa asli terutama di daerah Jawa tengah dan jawa timur kepercayaan mengenai larangan mengadakan pernikahan di bulan suro masih di pegang lekat. Mereka masih mempercayai jika pantangan dan larangan ini di langar, maka orang yang melanggarnya bisa ketiban sial.

Dalam Islam sendiri kepercayaan mengenai hal ini tidak dapat dibenarkan. karena dalam islam tidak ada larangan mengenai pernikahan dibulan Suro atau Muharrom itu sendiri. Bulan Muharrom memang menjadi bulan istimewa bagi kalender Islam, tapi tidak sampai memberikan larangan atau pantangan mengadakan pernikahan pada bulan tersebut. justru islam sendiri menganjurkan untuk menyegerakan pernikahan jika memang sudah siap. Karena pada dasarnya kebahagiaan  tidak ditentukan dari penentuan tanggal pernikahan, melainkan bagaimana kedua pasangan menjalaninya dengan keharmonisan.

Selain pantangan mengadakan pernikahan di bulan Suro, ada juga pantangan lain yang dipercaya masyarakat Jawa agar dihindari. Diantaranya adalah “Berpindah Rumah”.  Masyarakat Jawa mempercayai kalau ada yang disebut hari baik dan ada pula hari buruk. Menurut mitos di Jawa, hari-hari di bulan Suro bukanlah hari baik sehingga tidak dianjurkan melakukan pindahan rumah.Mitos ini dipercaya hingga ada klaim bahwa yang melanggar pantangan Suro  akan mengalami kesialan dan ketidakharmonisan dalam rumah tangga. Selain itu masih banyak pantangan lain di bulan Sura yang oleh masyarakat jawa harus di hinadari seperti megadakan pesta Hajatan, dan sering keluar rumah.

          Sejatinya pantangan dan larangan yang dipercaya orang jawa dibulan Suro tidak memiliki bukti aktual dan kongkrit. hal itu hanya sebatas kepercayaan yang mandarah daging di kalangan masyarakat Jawa. Kita boleh mempercayainya atau tidak, akan tetapi  tradisi, kebudayaan, dan kepercayaan masyarakat jawa perlu kita junjung tinggi dan kita hargai, karena diantara tradisi-tradisi tersebut banyak hal yang mungkin juga bermanfaat.   

Pada dasarnya masyarakat Jawa tidak bisa dilepaskan dari tradisi dan budaya, karena hal itu merupakan ciri khas dan bagian dari masyarakat Jawa itu sendiri. Wali songo dalam menyebarkan dakwahnya ditanah Jawa tidak melulu melalui peperangan dan kekerasan. Para Wali Songo  mengerti jika sifat dan karakteristik masyarakat jawa adalah santun dan lembut. Selain itu masyarakat Jawa juga tidak bisa dilepaskan mengenai tradisi dan budaya leluhur yang diwariskan dari nenek moyang.

Hal ini yang menjadi patokan mengapa dakwah wali songo bisa berhasil, itu karena peran para Wali songo yang berhasil mengambil hati masyarakat Jawa dengan cara mempertahankan tradisi dan budaya yang ada, menghilangkan hal-hal yang berbau kemusyrikan dan mengantinya dengan nilai-nilai islami tanpa mengurangi eksistensi dari tradisi dan budaya tersebut. Bisa kita ambil contoh bagaimana dakwah yang dijalankan oleh sunan kali jogo, Sunan kali jogo  menyebarkan dakwahnya melalui kesenian, dengan cerdiknya sunan kalijogo membuat sebuah pewayangan dan tembang-tembang. Wayang sendiri dibuat dari kulit dan bentuk daritokoh pewayangan sengaja tidak di serupakan dengan bentuk manusia asli hal ini karena dalam islam tidak diperbolehkan. Kemudian dalam pewayangan sebagai bentuk menyebarkan dakwah sunan kali jogo memasukkan pengajaran dan hikmah di dalamnya, sebagai contohnya dalam pewayangan kita mengenal “Jamus Kalimosodo” alias sebuah pusaka dalam dunia pewayangan yang dimiliki oleh Prabu Puntadewa (alias Yudistira), pemimpin para Pandawa yang berwujud kitab dan merupakan benda yang sangat dikeramatkan dalam kerajaan Amarta.   Jamus Kalimosodo pada dasarnya diambil dari “kalimat syahadat’, dimana secara tidak langsung Sunan kalijogo memasukkan ajaran islam di dalamnya serta mengajak para penonton dan masyarakat mengenal agama Islam lebih dalam.

Selain Sunan Kalijogo ada juga contoh dakwah yang dilakukan Sunan kudus, daerah kudus dulunya banyak penganut agama hindu, masyarakat disana mempercayai bahwa Sapi adalah hewan yang dimuliakan. Oleh sebab itu Sunan Kudus yang meyebarkan ajaran Islam di daerah tersebut tidak mengunakan Sapi untuk berqur’ban , tetapi mengantinya dengan kerbau.

Hal ini menunjukkan bagaimana budaya dan tradisi tidak bisa terlepaskan oleh masyarakat Jawa.

          Dari tradisi dan budaya Jawa tersebut kita isa mengambil pelajaran bahwa tradisi dan budaya tidak bisa terlepaskan dari masyarakat, dan itu menjadi suatu hal sendiri yang berharga. Tradisi atau budaya apa yang sekiranya itu bermanfaat maka bis akita ambil faedah akan tetapi jika itu hanya sebuah kepercayaan yang belum bisa dibuktikan secara kongkrit kebenaranya atau bahkan bisa saja menjadi mitos maka kitab oleh menyikapinya sendir.  Intinya tetap jaga budaya dan tradis yang di wariskan oleh leluhur kita, terutama tradisi yang diwariskan oleh para wali Songo dimana sudah jelas mengenai nilai- nilai keislaman dari tradisi tersebut.

 

 

 

 

          Bio Narasi :

               UP TO Me, adalah nama pena dari penulis opini ini. Nama asli dari penulis sendiri adalah AHMAD AINUL YAQIN. Penulis merupakan Mahasiswa Uin Maulana Malik Ibrahim Malang Semester 1, Jurusan Pendidikan agama Islam. Penulis mulai mengeluti minat dalam dunia sastra sejak madrasah aliayah. Ada beberapa perlombaan menulis yang sudah pernah diikutinya, dan lomba cipta opini ini adalah lomba penulisan pertama yang diikutinya sejak menjadi mahasiswa Uinma. Harapanya semoga karya ini sesuai dengan kriteria selain juga untuk menggugurkan kewajiban.

                                                                                                                                        SALAM LITERASI

                                                                                                                                      [27 oktober 2021]

Posting Komentar

0 Komentar